SITUS PATENGGENG

 

TEMPAT CAGAR, SEJARAH, FOLKLOR & UPAYA PENGEMBANGAN DAN PELESTARIANNYA

 

TEMPAT CAGAR SEJARAH SITUS PATENGGENG

 

 

Patenggeng adalah situs sejarah yang berada di atas bukit yang datar yang oleh masyarakat setempat di namakan Datar Patenggeng. Dinamakan Datar karena memang situs Patenggeng terletak di sebuah bukit yang di atasnya rata atau datar. Areal keseluruhan datar Patenggeng itu seluas 28 Hektare. Berada di wilayah Desa Margasari Kecamatan Dawuan Kabupaten Subang Jawa Barat.

 

 

 

Situs Sejarah Patenggeng adalah tempat cagar budaya yang sejak tahun 1985 sudah dinyatakan dan diakui Pemerintah Daerah Kabupaten Subang sebagai salah satu suaka cagar budaya. Patenggeng yang berada di wilayah Desa Margasari, 

 

Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang adalah suatu tempat yang disinyalir pernah terjadi peradaban atau adanya siklus kehidupan yang berlangsung di abad silam.

 

Hal itu terbukti dengan ditemukanannya potongan ptongan keramik tembikar, batu granit, dan beberapa benda bekas peradaban zaman dulu yang tergali di tempat itu. Ditemukannya peninggalan purbakala di Patenggeng berkat observasi dan ekskavasi yang dilakukan oleh pemerintah bersama Badan Arkeologi sejak pertama pada sekitar tahun 1976, ekskavasi kedua pada 2004, dan ekskavasi ketiga pada 2014.

 

Dari hasil ekskavasi tersebut ditemukan benda-benda purbakala seperti pecahanpecahan keramik china, batu andesit, kerak besi hitam, alat bantu serpih dan gerabah lainnya, serta batu bata yang diperkirakan berasal dari abad 10-15. serta keramik dari Dinasti Han (220 SM - 202 M)

 

Di bagian barat Situs Patenggeng terdapat sebuah makam yang dianggap keramat oleh penduduk. Berdasarkan laporan tim arkeologi Universitas Indonesia, pun seperti yang diceritakan oleh juru kunci dan para pini sepuh serta cerita dari mulut ke mulut masyarakat setempat, dikatakan makam itu adalah makam Mbah

Brajadikeling atau Raden Kalangsungging.

 

"Raden Kalangsungging itu adalah patih yang berkuasa di kawasan Patenggeng. Sedangkan Rajanya adalah Raden Purbawisesa, seorang raja yang ditugaskan oleh kerajaan Pajajaran Kuno," demikian Ki Sanen, juru kunci situs Patenggeng memberikan keterangan. Senada dengan keterangan Ki Sanen, Ali warsa selaku Kepala Desa Margasari sekaligus Ketua Lembaga Adat Waringin Putra memberikan keterangan yang sama.

 

Patenggeng yang berada di puncak datar sebuah bukit yang jika digambarkan berbentuk intan terbalik, di sebelah timurnya terdapat Sungai Ciasem. Konon sungai tersebut dahulunya merupakan sungai yang lebar. Ini terbukti dari letak sawah di 

 

pinggiran bantaran sungai yang lebih tinggi dari permukaan air, tetapi lebih rendah dari tanah perkampungan di sebelahnya. Diperkirakan sungai tersebut dahulu merupakan pelabuhan yang besar, tempat kapal-kapal sebagai alat transportasi hilir mudik dan bermuara di hulu yang ada di Patenggeng.

 

Ironisnya, Patenggeng yang sudah diakui sejak terangkatnya benda-benda purbakala pada observasi tahun 1976 tersebut, keberadaannya sebagai tempat situs cagar budaya yang dilindungi pemerintah sangat memprihatinkan. Situs sejarah di atas bukit itu tidak terawat dan tidak pantas disebut sebagai tempat cagar budaya yang sudah dilindungi pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten Subang.

 

Masih berada di atas tanah berstatus tanah adat milik seorang warga desa seluas sekitar 2800 meter persegi, situs tersebut nyaris tidak tersentuh perawatan dan pelestarian. Satu-satunya ciri hanyalah belitan kain putih pada sebatang pohon Kihiang yang dipercayai sebagai ciri makam Raden Kalangsungging. Ada sebuah saung sederhana dan terbuka, itu pun sumbangan dari seorang donatur yang berkunjung ke sana.

 

Ketika hal itu dikonfirmasikan kepada Kepala Desa, Ali Warsa menceritakan ihwal situs tersebut. "Disbudpar (waktu itu) masih belum bisa menentukan, berasal dari peradaban mana sejarah yang pernah terjadi di sana. Karena berdasarkan hasil penelitian, mereka belum bisa menyimpulkan tentang identitas dari benda-benda yang ditemukan itu berasal, yang kemudian bisa dijadikan acuan ataupun panduan untuk menentukan identitas Situs Patenggeng."

 

Alhasil, situs yang diperkirakan sebagai tonggak sejarah tertua di Subang itu sampai saat ini identitasnya belum terkuak. Namun ketika di sana telah diadakan beberapa observasi dan terangkat berbagai benda-benda bernilai sejarah --bahkan bendanya ada yang dikonservasi ke Australia, sementara tempat terjadinya observasi sudah dinyatakan sebagai situs cagar budaya itu status dan perawatannya ditelantarkan-- maka patutlah kiranya hal ini dipertanyakan.

 

Sejarah telah tergali, bukan saja dari benda-benda sebagai buktinya tapi dari cerita dan tempatnya itu sendiri. Maka sebagai bangsa yang besar sudah sepantasnya bisa menjaga dan melestarikannya. Bukan masa lalu yang akan terus kita tengok, tapi dari masa lalu itu kita semua bisa bercermin untuk menentukan masa depan. Jika Patenggeng terbuka, situsnya dipelihara, maka ada beberapa sektor dan peluang yang bisa digali. Salah satunya adalah untuk lebih meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Tulisan Ratna Ning di artikel detiknews, "Menyusuri Situs

Patenggeng"  https://news.detik.com/kolom/d-4890934/menyusuri-situs-patenggeng.

 

Berbagai upaya telah dilakukan beberapa pegiat dan komunitas sejarah budaya yang ada di Kabupaten Subang yang peduli pada pelestarian dan pengembangan situs Patenggeng. Di antaranya adalah Pangauban Sanggar Waringin, sebuah komunitas yang terdiri dari masyarakat pecinta sejarah/budaya yang pernah mempublish dan mengupas Situs Patenggeng serta memfasilitasi untuk upaya  pelestariannya dengan mengadakan audiensi dengan Bidang Kebudayaan Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang dan menghadap langsung kepada Bupati Subang, Haji Ruhimat pada Tahun 2017 silam. Beberapa cuplikan konfirmasi yang sempat dipublis dalam berita media di antaranya dari Kasie Musieum dan Kepurbakalaan Bidang Budaya Disdikbud diantaranya menyatakan sebagai berikut :

 

 

 

"Kami sedang memverivikasi data lagi untuk situs-situs cagar budaya yang berada di Kabupaten Subang. Tujuannya untuk mencatat data-data situs dan memperbaharuinya. Untuk selanjutnya akan dijadikan dasar atau acuan untuk program-program bidang kebudayaan ke depan (karena yang terdahulu tanggungjawabnya oleh Disbudpar yang sekarang menjadi Disparpora) dalam hal ini pelestarian situs-situs yang sekarang menjadi tanggungjawab kami" Terang Rudi nasarudin taufik SE, Kasie Musium dan kepurbakalaan (kasie Muskala) ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya.

Untuk Situs Patenggeng, Rudi mengaku merasa terbantu dengan adanya informasi tersebut. Untuk awal program perencanaan kerjanya, mereka berjanji akan memasukkan Situs Patenggeng menjadi prioritas dan mengagendakan untuk tindak lanjut pada pelestarian situs tersebut.

Disinggung tentang observasi yang sudah tiga kali dilakukan, kasie Muskala hanya memberikan konfirmasi pada observasi di tahun 2004.

"Benda-benda sejarah berupa pecahan keramik ada di Musium Kepurbakalaan kabupaten Subang. Yang saat ini gedungnya tengah mengalami perbaikan, benda sejarah dari patenggeng sementara kami amankan dan sudah kami kemas"

Untuk ke depannya, Bidang Budaya Dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten Subang yang sejak 2017 lalu meneruskan tugas yang dilimpahkan dari Dinas Pariwisata dan Olahraga tersebut akan lebih menggali, memelihara dan melestarikan situs cagar budaya yang memang sudah terdaftar dalam data situs yang sudah diakui dan dilindungi pemerintah Kabupaten Subang.

"Bukan hanya pada Situs Patenggeng, tapi pada situs-situs lainnya kami akan lebih intens untuk program-program pelestarian yang tentunya tidak bisa kami lakukan serentak.

Tetapi bertahap dan bergilir sesuai dengan turunnya program" demikian terang Rudi.

 

 

 

 

 

 

Para aktipis masarakat yang tergabung dalam “Pangauban Sanggar Waringin" dok 2017

                 

Pangauban Sanggar Waringin tahun 2017 bahkan sudah menemui Bupati Subang saat baru selesai di lantik, di rumahnya di Serang Panjang. Saat itu Bupati Subang, Haji Ruhimat menyambut baik aspirasi Pangauban Sanggar Waringin dan berjanji akan segera mengagendakan Situs tersebut untuk ditinjau dan ditindaklannjutim Tapi jani tersebut belum juga terealisasi hinga tahun 2021 ini.

Situs Patenggeng yang sarat dengan cerita kontroversi dan tempat cagar budayanya semakin telantar dan memperihatinkan hingga kini. Tidak seperti situs-situs lainnya yang mendapatkan sentuhan perhatian baik dari pemerintah terkait maupun dari donatur yang merasa terpanggil pada pelestarian situs sejarah budaya. Patenggeng semakin tidak terawat dan besar kemyngkinan jika terus dibiarkan situsnya akan tenggelam dan hilang.

Sebagai tempat cagar sejarah yang diyakini bahwa disana pernah ada dan terjadi sebuah siklus peradaban kehidupan besar di jamannya, Patenggeng beberapa puluh tahun ke belakang, sekitar tahun 1970 sampai tahun 1980 pernah dijadikan kunjungan wajib para  siswa baru dari sekolah pendidikan Guru (SPG) subang setiap tahun ajaran baru. Keterangan ini atas dasar kesaksian mantan siswa angkatan tahunn tersebut.

Salah seorang arkeolog yang tergabung dalam team ekskavasi dan observasi situs Patenggeng pada tahun 2004, Dr Lutfi Yondri yang ditemui pada saresehan budaya di situs Nay Subang Larang memberikaan konfirmasi terkait situs Patenggeng.

“Observasi situs Patenggeng itu belum selesai. Patenggeng harus dilakukan ekskavasi lanjutan dan itu akan berlangsung berkelanjutan dan membutuhkan waktu yang lama. Sebab dari beberapa kali ekskavasi, belum cukup bukti benda  sejarah yang akan menguatkan identitas yang bisa menyatakan dari dinasti apa atau dari abad mana Patenggeng berasal” Begitu keterangan Dr Luhfi Yondri yang pada masa itu masih menjabat sebagai salah satu team ahli arkeologi Balai Aekeologi Jawa Barat, pada Ratna Ning.

Hingga kini, meski masih banyak orang yang berkepentingan dengan Patenggeng, baik untuk berziarah secara pribadi atau dari berbagai golongan dengan kepentingannya masing-masing, yang masih datang ke Situs Patenggeng, namun tempat cagar sejarah itu sermakin terkucilkan bahkan nyaris tenggelam.

Adalah Komunitas JEJAK, salaah satu Komunitas kesejarahan yang kembali menggali baik semangat maupun kepedulian para budayawan, organisasi masyarakat atau pelestari dan pegiat sejarah budaya serta seluruh lapisan masyarakat yang punya visi dan misi dalam hal pelestarian sejarah budaya, untuk membuka dan menata Situs Patenggeng.

Beberapa giat dilaksanakan medio bulan Juli 2021. Di antaranya dengan melakukan penjelajahan dan penyisiran satu sisi tebing Bukit Patenggeng yang berupa tanah milik masyarakat setempat. Berdasarkan cerita dan temuan masyarakat yang memiliki tanah tersebut, sering ditemukan benda benda berupa pecahan tembikar di tanah garapan miliknya sejak di garap tahun 2000 lalu. Karena proses pencangkulan dan pembalikan tanah, petani tersebut sering menemukan pecahan keramik tembikar berupa pecahan mangkok, pendil, priuk, kendi bahkan tatanan bata dan manik-manik yang sangat unik dari bentuk maupun warnanya.

 

Komunitas Jejak Membuka Sumber Mata Air Keramat Cikahuripan

Giat kemudian dilanjutkan kembali mulai bulan September 2021 dengan agenda membuka salah satu unsur tempat yang dianggap keramat  yang ada di area situs Patenggeng yaitu

Membenahi, membuka dan menata Sumber Air Cikahuripan. Sumber air itu konon bernama “pancuran Telaga Emas”. Menurut cerita dari mulut ke mulut yang mengiringinya, Sumber mata air itu adalah sumber mata air Sumur Bandung. Salah seorang istri dari Raja yang disebutkan berkuasa di Patenggeng. Ratu Sumur Bandung.

Sumber mata air Cikahuripan yang dinamakan “Pancuran talaga emas” berada di bawah datar Patenggeng, di sebelah utara situs. Sumber mata air yang dikeramatkan itu berada di antara rerimbunan hutan bambu. Karena tidak terawat sekian waktu lamanya, Sumber mata air yang asalnya tertampung dalam kubangan seperti telaga kecil itu tempatnya jadi dangkal dipenuhi oleh lumpur dan tanah sisa longsoran ditambah daun-daun bambu yang menutupi. Namun begitu, air tetap keluar dan mengalir ke bawahnya membentuk selokan kecil sampai ke bawah. 

Menurut Dadang Perwenda, salah satu pengurus Komunitas Jejak yang juga merupakan warga Desa Margasari dan selalu menjadi juru pelihara sukarela pada situs maupun unsur yang ada di situs itu termasuk sumber mata airnya, Keramat Cikahuripan dulu terawat dan ada pancuran tenpat orang yang datang ke sana mandi dan mengambil airnya untuk diminum. Karena menurut kepercayaan, air keramat itu mustajab untuk menyembuhkan penyakit batin.

 

Sumber Mata Air Cikahuripan “Pancuran Talaga Emas” ketika pertama kali ditinjau.

Tempatnya atau kubangannya tidak terawat, airnya berwarna kuning dan bau besi.

 

Komunitas Jejak Mencangkul dan melebarkan kembali Kubangan mata air

 

 

Membuat jalan dan membersihkan hutan bambu di sekitar sumber air.

 

 

Membuat pemandian dan pancuran

 

Membuat taman sederhana memanfaatkan tanaman di sekitar

 

Membuka dan merapikan jalan

 

Memagari Talaga Cikahuripan dengan gedek bambu agar tidak longsor dan menjaga dedaun

 

Membuat bangku dari bambu di tempat yang akan dibangun saung

 

Talaga pancuran emas dipagari oleh gedek agar lebih bersih dari dedaun dan longsoran lumpur

 

 

Ketua dan Sekjen Jejak, Nanang Syaeful Bachri dan Ajat Komara

SEJARAH DAN FOLKLOR SITUS PATENGGENG

 

Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, sesuai dengaan keterangaan dari Ketua lembaga adat Waringin Putera, Ali Warsa SE, Kuncen atau juru Kunci Situs Patenggeng Aki Sanen, Tokoh budaya Desa Margasari Momo Sahmo dan Dadang Perwenda menyebutkan bahwa Patenggeng adalaah sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Kutawaringin. Rajanya bernama Prabu Purbawisesa, Prabu Purbakawasa dengan dua patih yang selalu disebut yaitu Patih Kalangsungging dan Patih Brajadikeling. Adapun seorang istri atau permaisurinya yaitu Ratu Sumur Bandung. Tidak ada keterangan yang lerbih lanjut mengatakan kerajaan tersebut secara detail tapi menurut folklor dari mulut ke mulut bahwa kerajaan tersebut sejaman dengan masa pajajaran kuno atau pajajaran 1. 

Folklor yang berkembang kemudian, dan dikaitkan dengan masa atau abad yang ditemukan dari identitas benda yang diutemukan ada yang berasal dari abad 220 SM ada pula yang menyebutkan bahwa Patenggeng itu bukan berstatus kerajaan atau karesian. Hal ini karena dari disebutkannya dua raja, dua patih yang disebutkan di sana diperkirakan bahwa Patenggeng tempat beristirah raja-raja dan para abdinya yang sudah lengser keprabon dan menjalani kehidupan menyepi dan hanya melakukan ritual ibadah untuk mensucikan diri pada jamannya. Di abad itu pula diperkirakan ketika jaman peralihan antara jaman hindu ke era kasundaan. Hal itu diperkirakaan karena ditemukannya benda berupa patung Nandi di hulu sungai Cibolang, letaknya kira-kira di bawah datar Patenggeng pada tahun 1800 M. Patung nandi adalah simbol pemujaan agama Hindu. Ada juga cerita yang beredar di masyarakat bahwa seringkali di Patenggeng terlihat ada sapi atau kebo. Dikairkan ke dalam analisa ilmiah bahwa sapi atau kebo itu adalah hewan yang dikeramatkan atau disucikan oleh pemuja Hindu yang dinamakan Lembu Andini. 

Folklor tersebut menyebutkan pula bahwa salah satu raja yang berada di Patenggeng itu memiliki seorang anak yang di buang ke kali ciasem dan di pungut dan di selamatkan di tepi kali sekitar daerah Batusari sekarang. Anak tersebut bernama Raden Royoman. Situs keramat Raden Royoman berada di daerah Batusari dan dari cerita Kuncen maupun masyarakat yang meyakini antara masyarakat Batusari dan Margasari bahkan bukan hanya dari dua desa  tersebut. Termasuk Sekjen JEJAK Ajat Komara menyebutkan Raden Royoman adalah bayi yang di buang oleh Raja Patenggeng dan berhasil di selamatkan di pinggir kali daerah Batusari sekarang. Konon ketika beranjak remaja Raden Royoman sempat datang ke wilayah Patenggeng dengan menyamar sebagai penyabung ayam. Nama Raden Royoman bahkan selain terdapat situs keramatnya di Desa Batusari juga diabadikan menjadi nama kampung di Batusari yaitu kampung Royom. 

Patenggeng ( dalam arti sunda Patenggeng itu Nenggeng = Nenggang, artinya terlihat kemana-mana)  sendiri banyak yang menyebutkan nama lainnya adalah Patinggi. Seperti yang selalu disebutkan Neti, salah seorang warga desa yang memiliki kebun di wilayah Patenggeng. Patinggi itu berasal dari kata tempat yang tinggi. Konon, sebelum menjadi bukit yang atasnya datar dan disebut datar Patenggeng tempat tersebut merupakan sebuah gunung yang mengerucut dan runcing sampai ke atas dan tinggi. Kira –kira jika digambarkan seperti piramid. Hanya karena proses alam ujungnya terpapas hingga menjadi tegalan yang datar atau rata. Senada dengan ketarangan Momo Sahmo bahwa di atas datar itu dulunya tidak ada pepohonan tinggi. Tapi tempatnya benar-benar berupa tegalan dan hanya di tanami tanaman yang pendek seperti palawija, padi dan sebagainya. Hingga dari tempat itu pemandangan ke sekitarnya yang jauh ke bawah bisa terlihat sangat nenggang atau jelas. Bahkan hingga ke arah selatan Tangkuban perahu sangat terlihat jelas dari Patenggeng. Haal itu termaktub juga dalaam salah satu syair pantun perjalanan Babad Bujangga Manik. Jika di artikan, Bujangga manik sempat datang dan naik ke datar Patenggeng, melihat ke sebelah selatan dan memandang jelas gunung Tangkuban Perahu dari sana.

Beberapa keterangan tersebut memang baru sebentuk cerita yang berebdar di masyarakat, dikaitkan dengan fakta dan bukti yang ada, baik yang nyata maupun bukti historis yang belum berdsarkan penelitian ilmiah dari keilmuan yang bersangkutan. Namun bisa jadi, jika disandingkan dengan temuan-temuan dari observasi dan ekskavasi yang lebih detail, intens dan berkelanjutan keterangan tersebut bisa menentukan titik dari sejarah Patenggeng. Hingga pada akhirnya Cerita yang dianggap folklor bisa menentukan sejarah yang benar adanya tentang Situs Patenggeng. Harapannya tentu saja bisa menjadi ciri atau identitas tentang sebuah peradaban yang pernah ada dan pada masa kini selain bisa meyakinkan identitas pada kehidupan masyarakat di sekitarnya pun tempatnya bisa dibuka hingga menjadi suatu  kekayaan baru yang bisa berdaya guna dan berhasil guna untuk menunjjang kemajuan perekonomian maupun kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Hal ini tentu saja bukan semata menjadi tanggung jawab Komunitas Jejak untuk membukanya. Komunitas Jejak notabene hanya menjadi fasilitator dan unsur penggerak yang diharapkan bisa membangkitkan semangat maupun kepedulian semua pihak yang peduli dan cinta pada sejarah budaya kearifan lokal yang ada khususnya Patenggeng. Komunitas Jejak dengan menyatakan dari Giat dan aktifitasnya menapakkan jejak-jejak yang mulai hilang di Patenggeng hanyalah stimulan dan memberikan spirit untuk menghidupkan kepedulian berbagain pihak agar bersama-sama melestarikan sejarah Situs Patenggeng hingga tidak hilang dari peradaban dan panjang dikenang oleh anak cucu ke depan.

Komunitas Jejak sesaat sebelum deklarasi di situs Patenggeng. Tampak gambar, Ketua Jejak dan Sekjen sedang berbincang dengan Ki Sanen, juru kunci Situs Patenggeng.

 

RENCANA PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN SITUS PATENGGENG

 

Rencana Pengembangan dan pelestarian situs Patenggeng yang dirancang oleh komunitas JEJAK sesuai dengan beberapa visi yaitu :

1.      Menjaga hutan tatanan alam yang lestari sebagai penghijauan, menjaga sumber air, dan fungsinya untuk oksigen yang baik bagi kehidupan.

2.      Menciptakan Situs sejarah untuk wisata edukasi.

3.      Membangun situs untuk wisata religi.

4.      Membangun situs untuk wisata budaya dan sarana rekreasi alam kekinian yang berafiliasi pada tatanan wisata back to nature.

Dari rencana pengembangan sesuai fungsinya tersebut di situs Patenggeng tidak akan dibangun situs yang bernuansa mistis seperti di situs yang sudah ada, tapi akan dibangun beberapa flot yang disesuaikan dengan rencana-rencana di atas yaitu :

1.      Di atas datar, di titik sentra utama akan direncanakan di bangun pendopo dengan tujuan napak tilas seperti diperkirakan fungsi Patenggeng dahulu, yaitu tempat berkumpulnya para gegeden. 

2.      Akan dibangun mesjid dan sarana penunjang ibadah di beberapa titik.

3.      Akan dibangun musieum alaam yang akan memajangkan benda-benda yang pernah diketemukan di sana oleh para penduduk,  dengan identifikasi perkiraan benda tersebut pada pihak berkompeten. Fungsinya untuk memberikan edukasi pada para pengunjung.

4.      Membangun dan membuat ornamen-ornamen budaya yang sesuai dan diperkirakan pernah ada dan terdspat disana. Menata tempat, bangunan dan beberapa unsur kekayaan sebagai penunjang situs keramat seperti beberapa sumber air yang disebut ada, akan di buka dan di tata.

5.      Membuat sarana penunjang seperti jalan, taman dan yang menunjang pada daya tarik pengunjung yang tak hanya untuk wisata budaya tapi juga wisata alam. ***

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dia Anakku