Dia Anakku



 

Ratna Ning

 

 “DIA anakku!” suara Sumi pelan bergetar. Ia duduk di bale-bale. Tunduk. Pundaknya berguncang. Sesenggukan. Dua kakinya berongkang-ongkang. Gelisah tak karuan. Terlebih mak terus-terusan mencecarkan tanya padanya. Itulah. Sumi tak kuasa mendongakkan wajah. Ia jengah beradu pandang dengan tatap tajam berlinang milik mak.

“DARI tadi kau kutanya, bahkan dari kemarin, kau hanya bilang dia anakku.  Anakmu dengan siapa, Sumi? Lelaki mana?” mak hampir berteriak geram. Wajahnya semakin gusar. Sedang bapak, duduk kelu di belakangnya. Di kursi rotan tua, menyandar ke tembok dengan selinting bakau pahpir yang tak jua disulutnya.

Sumi tak menjawab lagi. Perempuan dua puluh lima tahun –yang oleh sebagian warga kampung dijuluki perawan lapuk– itu tetap diam dalam tunduknya. Final! Ia tak akan dan tak mau lagi menjawab lebih jauh. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan mengunci rapat-rapat mulutnya tentang hal misteri itu. Bukan pada lelaki itu, atau demi melindunginya, Sumi bersikap bungkam. Itulah komitmen pada dirinya. 

Lagi pun, untuk apa mak tahu? Orang tahu? Percuma. Hanya akan membuat gonjang-ganjing gosip. Tak akan menyelesaikan masalah. Semua sudah terjadi dan mungkin harus terjadi. Jadi biarlah sang bayi hanya tahu bahwa ia terlahir dari rahim seorang ibu. Ibu yang mulai mencintainya ketika ia menggelepar-gelepar di dalam perut Sumi saat meminum obat sakit kepala dosis tinggi. Itulah upayanya melenyapkan sang janin untuk terakhir kali. Setelah itu, dengan tekad yang bulat, Sumi menjalani harinya menjelang nasib. Sembari diajaknya sang janin berbincang.

“Baiklah, Nak! Jika kau ingin hidup, diam-diamlah. Sembunyikan dirimu dari pandangan orang hingga kau terlahir nanti. Dan kita akan  terus diam-diam!” gerundelnya seraya mengusap-usap perutnya yang aktif bergerak, tapi tak jua membesar. Sumi masih menjalankan aktivitas seperti biasa. Pergi bekerja dengan setelan blazer dan roknya. Semua orang, termasuk orangtuanya, tak melihat perubahan signifikan dari dirinya.

Hingga kemudian, lima bulan setelah itu, dunia geger. Sumi melahirkan di bidan desa. Padahal, saat itu, ia dikira terkena wabah muntaber karena muntah-muntah dan berak seharian. Epidemi muntaber memang sedang mewabah di kampungnya. Tapi, setelah meregang-regang kesakitan di sekitar perutnya, Sumi malah melahirkan seorang bayi laki-laki yang mungil. Semua orang ternganga. Desas-desus sontak bergemerisik dari mulut ke mulut, dari orang-orang kampung.

“Tak sangka ya, perawan lapuk yang sok alim itu diam-diam memeram bangkai….”

“Mungkin ia sudah gatal hingga melalap sembarang. Begitulah jadinya…”

“Sepertinya dia terpedaya rayuan lelaki tampan yang janji mau menikahinya. Padahal, cuma menipu, cuma ingin mengisap sari madunya yang sudah layu. Hik hik…” Begitulah desas-desus orang sekampung. Hal yang menjadi sangat lumrah dalam kehidupan perkampungan yang begitu rapat rasa sosialismenya, di mana setiap orang selalu ingin saling tahu dan saling peduli.

**

 

SUMI bukannya tak gerah dengan penghakiman itu. Tubuhnya yang baru saja letih karena melahirkan menjadi gigil seperti meriang. Ia kalang kabut dengan interogasi mak dan seluruh keluarga, pun gunjingan para tetangga.

Terlebih lagi ketika pak RT melaporkan kejadian itu kepada perangkat desa. Lurah datang dengan rombongan, menyambangi Sumi dan melihat bayi yang baru dilahirkannya. Menyerangnya pula dengan segudang pertanyaan. Berapa berat bayi, jam berapa dan di mana melahirkan. Bidan yang menangani proses persalinan hingga ke tetek bengek. Semua ditanyakan. Jeli seperti takut ada yang tertinggal.

 “Lantas, dia ini anak siapa, Sum?” sampailah lurah pada pertanyaan inti itu. Sumi mendadak kelu. Diam membawa tunduknya, seperti biasa yang dilakukan akhir-akhir ini, jika ada orang yang bertanya tentang itu.

“Sumi, Bapak bertanya…” Lurah menegaskan pertanyaannya lagi. Sumi beranjak dari duduknya, merangkul, dan menggendong si jabang bayi.

“Dia…anakku, Pak!” jawab Sumi pelan.

“Anakmu? Takkan dia lahir begitu saja. Sumi, kau tahu,  setelah Siti Maryam, tak ada lagi perempuan yang diberi keistimewaan dan mukjizat dari Allah untuk melahirkan bayi tanpa ada lelaki yang membuahinya. Kau pasti paham itu kan?” Pak lurah sedikit berdalil.

Sumi mengangguk.

“Lantas? Siapa bapak anak itu, Sumi?”

Sumi sesaat salah tingkah. Bingung. Resah. Ia terus berpikir, mencari cara agar ia tak terus-terusan didesak dengan pertanyaan serupa yang ia sudah berjanji tak akan membukanya pada sesiapa.

“Siapa bapak dari bayi ini? Apakah itu penting buat Bapak? Bayi ini sudah saya selamatkan, Pak, dengan naluri keibuan saya. Tak ada kasus yang menyeramkan dan memalukan buat Bapak dan masyarakat desa semua. Adapun saya melahirkan anak sendirian, itulah aib saya. Bukan aib masyarakat atau pemerintahan Bapak!” jawab Sumi kemudian dengan wajah tengadah.

Jawaban yang berkelebat barusan tentu saja membuat lurah terperangah, menengadahkan wajah. “Kamu menjawab pertanyaan Bapak terlalu jauh, Sumi….”

“Maaf, Pak, pertanyaan Bapak pun terlalu memojokkkan saya. Saya sudah menjawab, dia anak saya. Siapa pun bapaknya toh pada kenyataannya saya melahirkan  sendirian, Pak. Anak itu lahir dari rahim saya, semua orang tahu. Bidan saksinya. Dia anak saya. Darah daging saya. Jika besar nanti, dia akan punya garis nasab lurus dan jelas dengan saya. Hanya dengan saya. Adapun nanti tentang asal muasal hingga anak itu lahir, biarlah itu menjadi urusan yang akan saya perhitungkan sendiri dengan Tuhan saya. Pak, saya sudah berat menanggung beban saya dengan Tuhan. Janganlah ditambah dengan penghakiman manusia juga!” suara Sumi semakin lantang memberikan jawaban. Manik matanya lurus dan tajam menghujamkan pandang kepada lurah yang tergugu kelu di hadapannya.

“Tapi, kau hidup di tengah-tengah masyarakat, Sumi. Selain hukum Tuhan, kau pun musti patuh dan mengikuti hukum sosial. Hukum yang berlaku di negaramu. Anak ini nanti bakal butuh akte kelahiran. Itulah sebabnya bapak bertanya detail. Jika anak itu lahir tanpa bapak, bagaimana kau akan menguruskannya? Bagaimana kau akan mendapatkan akte lahir anakmu? Lagi pun, kau ini manusia, bukan kambing. Jika kambing betina melahirkan, tak ada bapaknya pun dia tak apa-apa karena dia tak butuh nikah, tak butuh akte kelahiran. Tapi kamu? Kamu mesti menikah jika memang anak ini lahir dari perbuatanmu dengan seorang laki-laki. Anakmu butuh figur bapak. Butuh akte juga untuk bekal kehidupannya nanti….”

 “Saya akan menikah, Pak. Jika jodoh saya sudah sampai. Dan akte itu, saya akan menguruskannya,” jawab Sumi tetap degil. “Yang perlu Bapak tahu, dia adalah anakku!”

Lurah angkat bahu. Dengan menyisakan kepenasaran, ia pun tak bisa berbuat apa, kecuali pamit dan berlalu.

Untuk sesaat, Sumi lega dari berondong pertanyaan tentang anaknya. Ditatapnya bayi merah yang terlelap. Sesungging senyum nelangsa tersembul dari mulutnya. Bayi merah kudus itu sungguh telah membuatnya jatuh cinta. Ooh, dia memang anakku meski matanya, hidungnya, warna kulitnya adalah milik seseorang….Ah, tapi dia anakku, bukan anak siapa-siapa. Hanya anakku. Hanya aku satu-satunya yang ia miliki. Pelan, air matanya menggeluyur menyusur lembah pipinya.

**

SORE hari, ketika Sumi tengah menyusui, beberapa orang berseragam polisi datang. Sumi kaget bukan kepalang. Ada apa ini?

“Maaf, Bu. Pihak kepolisian mendapat laporan bahwa anak Ibu yang bernama Sumi telah melakukan aborsi. Laporan itu telah kami tanggapi dan untuk itu, kami akan mengadakan penyidikan mengenai kasus tersebut! Keterangan dari si pelaku dan saksi nanti akan kami mintai!” Polisi gagah tak berkumis yang menenteng map biru berkata kepada mak yang terlihat sekali wajahnya syok.

Sumi bergegas menghampiri dengan rasa yang campur aduk. Gusti, kenapa jadi begini? Siapa yang tega membuat laporan tak benar itu? Dada Sumi bergetar.

“Siapa yang telah mengatakan fitnah itu, Pak? Itu keterangan tak benar. Saya melahirkan normal dan cukup bulan. Bayi saya sehat. Siapa yang memberikan pelaporan palsu itu?” suara Sumi bergetar.

“Maaf! Kami mesti melindungi pelapor demi menjaga kemungkinan-kemungkiann tak diinginkan. Yang jelas, berkas kasus Ibu sudah ada di meja kami dan akan segera ditindaklanjuti. Kami harap kerja sama Ibu untuk memberikan keterangan yang benar dan mendukung kelancaran penyidikan. Kami pun akan mencari keterangan dari saksi-saksi yang lain,” Pak Polisi dengan suaranya yang datar tetap memberikan jawaban yang sama.

Tiba-tiba wajah Sumi terasa merah dan panas. Rasanya seperti terbakar. Tega betul orang yang menzaliminya itu. Siapa dia? Kenapa memberikan  pelaporan palsu pada kepolisian? Kenapa pihak kepolisian pun datang dan langsung mengasumsikannya sebagai tersangka? Bukannya ada praduga tak bersalah sebelum diadakan penyidikan dan mendapatkan bukti-bukti yang mengarah? Gusti, di atas seribu kesalahanku yang tak terukur, aku telah berusaha menyelamatkan buah hatiku. Dia anakku. Bayi merah tak bersalah yang terlahir karena kebebalan orangtuanya.

“Kami akan mencari keterangan tentang bayi itu. Siapa bapak dari anak itu dan apa yang Anda lakukan terkait kelahirannya. Sebab pelaporan itu diajukan mungkin karena kekhawatiran pada kejadian Ibu melahirkan sendirian. Adanya upaya aborsi untuk itu bisa dan mungkin sekali dalam kasus Ibu. Kami juga akan memeriksa kondisi bayi Ibu. Apakah dia normal atau ada sesuatu yang mencurigakan?”

Sumi tak menangis. Wajahnya hanya merah. Kupingnya terasa panas. Giginya bergetar gemelutuk menahan amarah.

“Saya melahirkan normal. Bayi saya sehat dan ia saya rawat dengan penuh kasih sayang. Tak ada upaya aborsi atau apa pun itu meski saya melahirkan sendirian. Saya sudah siap menanggung risiko menjadi ibu tunggal dan  dikecam semua orang demi anak saya itu, Pak. Orang-orang yang ketakutan itu, yang memberikan laporan palsu itu, mungkin Bapak juga, hanya terprovokasi oleh pemberitaan tentang kasus pembuangan, pembunuhan, dan aborsi pada kehamilan yang tak diinginkan. Jangan samakan saya dengan kasus-kasus nyata ataupun sinetron yang direkayasa. Saya seorang perempuan, di atas segala dosa saya, juga seorang Ibu. Dia anak saya, Pak. Tak mungkin saya membunuh anak saya sendiri!” Keterangan Sumi yang cukup panjang itu tak cukup membuat polisi puas. Mereka tetap akan melakukan penyidikan dan pemanggilan hingga kasus benar-benar tuntas.

 

“Kau bisa saja berubah jadi tersangka, Sumi. Hukum pun sekarang bisa dibeli dan direkayasa. Inilah tulah. Orang-orang itu tak senang dengan ulah kamu!” Mak mencangkung di pintu dengan mata berlinang. Wajahnya keruh dan masai.

“Baiknya kau katakan saja siapa bapak dari bayi itu. Lalu kita minta pertanggungjawabannya. Mungkin itu bisa membantu,” saran seorang saudara.

Sumi menggeleng. Tidak! Tak akan! Gusti… aku memang berdosa, tapi tak adakah jalan lain yang selamat? Batin Sumi. Untuk beberapa lama, seharian itu, Sumi seperti ikan yang tengah sekarat. Menggelepar. Resah. Ketakutan. Takut akan sesuatu. Tapi ia tak jua menangis. Ia tahankan semua gejolak batinnya.

Kemudian Sumi mendengar saran seorang, ia harus datang kepada polisi penyidik itu dengan membawa sejumlah uang. Meminta kasusnya ditutup. Tapi bukankah itu menyuap? Sama saja ia megaku bahwa ia memang melakukan hal yang dituduhkan? Tidak!

“Kenapa harus kalah? Melakukan hal yang akan menghukummu seumur hidup di mata semua orang?Memang seperti kasus simalakama. Serbasalah. Tapi, menurutku, diam-diamlah. Ikuti arus. Jika kau dipanggil, diinterogasi, bicaralah menurut kata hatimu. Biarkan saja mereka mencari keterangan ke sana ke mari. Kamu tetap diam hingga kasusnya tuntas. Itu lebih baik, Sumi!” kata hati Sumi akhirnya yang menjadi keputusan. Ya! Sumi akan tetap diam, tegar menghadapi segalanya.

**

DIA anakku kan, Sumi?” lelaki itu mencari keyakinan di wajah Sumi, tetapi disertai seringainya yang membuat Sumi muak.

“Sssttt!! Tanyalah pada hatimu sendiri. Berbincanglah dengan nuranimu atau dengan iblis yang sekarang bersemayam di hatimu. Aku tahu nuranimu sudah kabur entah ke mana semenjak kau meragukan perbuatanmu yang telah berbuah, memungkirinya, bahkan menertawakanku” jawab Sumi dingin.

Dia anakku! Bukan anak siapa-siapa! Sumi tetap pada pendiriannya. Tak ada penyidikan itu. Tak ada kelanjutannya. Memang ada yang datang pada bidan desa, tapi padanya tak ada lagi pihak yang berwenang datang untuk meminta keterangan. Menginterogasinya. Kemudian, riuh itu seperti senyap ditelan bumi. Semua tak ada bekas. Usai tanpa penyelesaian yang tuntas.***

.karya Ratna Ning
Pernah dimuat di surat kabar “Pikiran Rakyat” Minggu 29 November 2015

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini