Arsip Cerpenku di Media
Pernah dimuat di Media HU Pikiran Rakyat edisi 26 Januari 2020
Kakek Pencari Kayu Bakar
Oleh
: Ratna Ning
Kakek
yang terlihat lusuh itu, dengan seikat kayu bakar di pundak, berhenti di depan
mesjid kecil yang berada tepat di depan rumahnya. Hanya terhalang jalan kampung
saja. Ia memperhatikan lima anak lelaki muda yang sedang leyehan di halaman
masjid.
Langkahnya
mendekat ke mesjid itu. Setelah menurunkan kayu bakar di pundak, ia masuk dan
mengucap salam. Pemuda pemuda yang sedang tiduran telentang sambil asyik dengan
gadjet gadjet mereka, serentak membagi tatap dan terbangun. Membalas salam.
“Ada
apa Kek?” tanya salah seorang.
“Kakek
yang seharusnya bertanya. Anak anak ini sedang apa di mesjid ini? Mau kemana?”
si Kakek balik bertanya.
“Ohh...memangnya
Kakek siapa?” salah seorang pemuda, yang pakaiannya paling rapi dari yang lain,
dia sepertinya anak yang paling dominan di antara kelima orang itu. Menatap Kakek
dari atas hingga ke bawah.
Sepatu
bots si Kakek dekil. Bajunya kumal dan buruk. Wajahnya penuh gurat-gurat
keriput, mencirikhaskan ketuaan dan sisa sisa kelelahan.
“Anak
jaman sekarang ya, ditanya kok balik nanya. Kakek yang suka mengurus mesjid ini
Nak. Asli dari kampung ini. Itu...rumah Kakek di seberang Mesjid...” jawabnya
sambil menunjuk rumah semi permanen yang tembok temboknya kelihatan melepuh.
Pemuda
yang bertanya tadi tersenyum, mengangguk.
“Saya
dari kota Kek. Datang kesini mau mengunjungi kerabat. Tapi...namanya saya lupa.
Makanya, kami istirahat di sini sembari menunggu Bapak Saya menjawab telefon
untuk memberitahu saya nama kerabatnya.
Makanya kami memutuskan untuk menginap di mesjid ini. Sudah hampir malam juga”
jawabnya detail.
Si
kakek mengangguk. Ia beringsut, duduk di pinggir teras. Topi lakennya dilepas.
Kakek kemudian menawarkan tumpangan menginap di rumah.
“Tidur
di mesjid tak baik, apalagi untuk tamu yang asing di sini. Takut ada
kesalahpahaman nanti. Sekarang kan banyak teroris Nak!” tawar si Kakek dengan
aksen suaranya yang berat dan tegas.
Rupanya
salah seorang anak muda tadi salah mengerti. Ia agak berang dengan prasangka Ia
dan kawan kawan dikatakan teroris. Sempat terjadi adu argumen. Si Kakek
menerangkan dengan penuh maklum. Anak-anak muda dengan gerjolak darah mudanya,
selalu saja memakan mentah mentah omongan orangtua, tanpa dimasukkan dulu ke
dalam pikiran.
Setelah
diterangkan maksud omongan Kakek, mereka baru mengangguk. Lima anak itu
beriringan dengan Kakek untuk beristirahat dan menginap di rumah sembari menunggu
telefon orangtuanya.
Kakek
di panggil Kepala Desa. Katanya ada Bapak dari salah satu anak itu yang
menelepon Kades dan marah marah karena anaknya dianggap teroris. Bapak itu
mengutus adiknya untuk meluruskan masalah. Nama kerabat itu ternyata Mak Nah.
Diam-diam tadi, rupanya salah satu anak yang selalu ngotot itu mengadu pada
Bapaknya.
***
Kakek
baru beberapa tahun saja, selepas pensiun, menetap di kampung asalnya. Ia selalu ramah menyapa setiap warga. Ia
sangat bersahaja dengan keadaan hidup yang tak begitu mujur meski tidak
tergolong melarat. Tak ada yang tahu lebih banyak tentang si Kakek, selain
seorang lelaki ringkih yang tak banyak bicara dan senang menikmati kesendirian,
menghabiskan waktunya sampai seharian di hutan. Tetangga tetangga di sekitar
tempatnya tinggal hanya mengenalnya sebagai marabot mesjid, yang setiap selesai
subuh melakukan aktipitas yang sama. Mencari kayu bakar ke hutan. Kegiatan itu
sudah seperti pengganti kerja, setelah si kakek pensiun dari perkebunan negara.
Ia
selalu berangkat selepas sholat subuh, di mesjid depan rumahnya. Setelah adzan
yang selalu dikumandangkan olehnya. Selepas sholat Ia pergi membawa radio
kecil, gadjet android pemberian anaknya meski sudah terlihat usang. Andriod keluaran pertama yang awet dalam penjagaannya.
Golok di pinggang, mengenakan topi laken yang robek di tepiannya. Kakek
menyusuri jalan desa dalam kebeningan
udara pagi. Kaki-kakinya yang masih menapak kuat, kadang mengenakan sepatu bots
yang sering dicopotnya saat menapakkan kaki di jalan beraspal kasar, bercampur
batu koral.
***
Selepas
Isya, Paman salah satu anak muda itu datang. Diantar Hansip. Mobil fortuner
mengkilat di parkir di depan rumah Kakek. Laki-laki tua itu tergopoh menyambut
tamu yang datang, diikuti oleh kelima anak muda yang sedang leyehan di ruang
tamunya.
Seorang
lelaki setengah baya menyalaminya. Mungkin sebaya dengan Kakek. Tapi laki-laki
itu dengan dandanan necis, terlihat lebih muda.
Tangan-tangan
bertemu. Sang Paman lama menelanjangi wajah Kakek. Tiba-tiba Ia menunjuk,
merangkul pundak Kakek.
“Kang
Pardi? Ya Alloh Kang. Akang sehat kan?”
Kakek
terlongong beberapa saat. Matanya lekat menelisik wajah tamunya. Sudah puluhan
tahun silam, satu satu wajah teman tak diingatnya lagi. Si tamu mengguncang
bahu Kakek. Menyebut namanya. Wawan. Alumni siswa SMT N 14.
“Saya
adik kelas Kang Pardi, beda dua tahun. Tapi saya masih hafal sama Akang. Siapa
yang tak mengenal Akang. Dulu akang siswa yang aktif dan pintar. Kang Pardi
sosok populer...” lalu nostalgia masa mudanya diungkap oleh Paman Wawan. Kakek
menepak jidatnya. Tertawa. Mereka akhirnya berbincang akrab.
“Saya
datang kesini atas utusan kakak saya. Katanya, Jordi pergi ke sini mencari Mak
Nah, bibi kami, Nenek dia. Tapi disangka teroris oleh seorang Kakek. Kakak saya
cemas dan marah. Makanya saya kesini...”
Kakek
menerangkan hal yang sebenarnya. Sama sekali Ia tak menuduh. Hanya saja, Ia
menawarkan rumahnya untuk menginap karena mesjid kurang baik untuk dijadikan
tempat menginap tamu. Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan berkaitan
dengan keberadaannya sebagai tempat ibadah saja.
Berulangkali
Paman meminta maaf. Lama mereka berbincang. Paman baru pamit ketika malam kian
beranjak tua. Ia sekali lagi memeluk Kakek dan menyalami penuh takjim.
“Kang...maaf
sekali, saya tidak bermaksud menghinakan Kang Pardi. Tapi ini hanya sebagai
kenang-kenangan. Ini jaket kulit yang baru saja saya beli. Tolong terima ya
Kang. Untuk Akang pakai ke hutan, katanya Akang suka mencari kayu bakar. Udara
di sini kan dingin Kang....” Paman itu mengangsurkan jaket yang masih dibungkus
itu meski kakek menepis dengan halus.
“Suatu
kehormatan bagi Saya, jika Akang mau menerimanya” Ia menepuk bahu Kakek. Kakek
mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Memeluk adik kelasnya itu dengan haru yang
menyesak.
Sekali
lagi mereka berjabat erat. Paman menunjukkan tangannya pada si kakek, berbicara
pada keponakan dan empat temannya.
“Kalian
baik-baik di sini. Dan jangan memandang sebelah mata pada kakek Pardi. Kakek
ini dulu seorang siswa aktif bahkan mahasiswa teladan di salah satu Universitas
terkenal....”
Kelima
anak muda itu terpana. Kakek hanya merunduk. Menepuk bahu adik kelasnya.
Mengantarnya menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Lagi-lagi ia tak
bisa menolak saat Wawan menyusupkan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam
amplop, pada saku baju Kakek.
Sisa
malam, Kakek nyaris tak tidur. Kelima anak muda itu mengajaknya berbincang.
Memintanya bercerita tentang masa lalu kakek yang pernah gemilang. Kakek sangat
bersemangat menggelar cerita, karena baru saat itu, ada yang percaya bahwa
dirinya pernah sekolah, bahkan mencapai tingkatan lumayan tinggi pada zamannya.
Selama
ini Ia selalu dianggap berkhayal dan berbual jika Ia menceritakan masa lalu.
Seorang Kakek kumal yang kerjanya mencari kayu bakar, mustahil jika pernah
sekolah. Orang-orang kampung selalu berkomentar miring bahkan mencibir. Sejak
itu Kakek tak mau banyak cerita. Ia lebih betah sendirian mengenang masa
lalunya, berbicara dengan hati dan alam, sembari mencari Kayu kayu bakar di
hutan.
***
Biodata Penulis
Ratna Ning, lahir di Subang.
Mulai menulis tahun 1994. Tulisan
pertamanya dimuat di Media Massa remaja “Kawanku”. Karya
berupa cerpen dimuat di Ceria
Remaja, Tabloid Wanita Indonesia, FantasiTeen,
Annida, Puteri, Muslimah
dan beberapa Media Instansi.
Buku kumpulan cerpen dan puisi
terbit indie bersama
delapan penulis perempuan di facebook.
Satu buku kumpulan carpon & sajak Sunda “Gerentes” bersama tiga
penulis perempuan turut meramaikan khazanah literasi daaerah.
Tahun 2015 Cerpennya dimuat di media Massa diantaranya Pikiran Rakyat dan beberapa
media Sunda/daerah.
Pernah menjadi Redaktur sastra Budaya di Tinta Hijau online. Menjadi
jurnalis di beberapa media online dan cetak diantaranya Jabar
Publisher.co, Media Lintas Pendidikan
Indonesia, Kupas Merdeka dan Infra
Merah.
Alamat Blog : Ratna Ning597.blogspot.com . Akun Facebook : Ratna Ning
Komentar
Posting Komentar