Cerpenku di Tribun Jabar Edisi awal pebruari 2020
Penabuh Gendang
Oleh : Ratna Ning
“Kau mau jadi penabuh
gendang?” pertanyaan yang sama, yang sering kudengar dari orang-orang lainnya,
kembali terlontar dari mulut si Bapak penabuh gendang ini. Aku menggeleng,
tersenyum.
“Sepertinya
kau sangat menyukainya...”Bapak itu meneruskan mengobrol denganku di jeda
hiburan menjelang dhuhur itu.
‘Sini,
kau duduk disini. Coba, kau tepak gendang ini...” Bapak itu malah menggamit
tanganku dan mendudukanku di bantal penyangga duduknya, di depan gendang.
Lagi,
aku tersenyum malu-malu. Tapi sebenarnya hatiku sangat senang. Rasanya seperti
dipercayakan untuk mempelajari pekerjaan
yang besar.
“Ayo,
kau tabuh gendangnya sesuka hatimu!” Kali ini si Bapak memerintahku. Aku
tertawa jenaka seraya menatapnya, sebelum tanganku mengambil posisi untuk
menabuh gendang.
Aku
tatap lagi si Bapak. Ia mengangguk. Aku kegirangan. Tangan-tangan kecilku yang
bulat kekar mulai menepak kedua sisi gendang. Sambil tertawa-tawa kegirangan.
“Wuuiihhh...Iman
gaya. Nabuh gendang segala....” Perdi, Giyan dan Nina, tiga temanku,
tergelak-gelak mengolokku. Aku balas tertawa-tawa. Sungguh, girang betul
rasanya. Ketiga temanku itu, ahh sebenarnya bukan teman, karena mereka masih
anak-anak. Usianya jauh di bawahku. Tapi mereka tetangga-tetanggaku. Yang
keseharian selalu bermain denganku.
Si
Bapak tampak memperhatikanku dengan serius. Tatapnya dalam namun bersahaja. Aku
senang melihat roman wajahnya yang bercahaya. Lagipun, ia baik sekali. Dari pagi semenjak grup jaipongan ini nabuh,
aku sudah duduk duduk di panggung, di belakang si Bapak penabuh gendang. Itu
makanya, siang ini saat mereka rehat dhuhur, Ia menyuruhku menabuh gendang.
“Kamu
punya bakat jadi penabuh gendang. Mau belajar? Bapak bisa ajarkan. Mau?” tawar
si Bapak dengan raut takjub.
Aku
tergelak. Menggeleng. Ragu. Tapi tangan-tanganku tak berhenti menepak gendang.
Selalu, animoku besar sekali bila sudah melihat benda itu.
Dalam
setiapa acara atau kegiatan yang melibatkan gendang atau sejenisnya, aku pasti
selalu tampil paling depan. Pada setiap malam takbiran, dimana beduk ditabuh
dengaan di arak keliling kampung, aku pasti jadi yang terdepan. Menabuh beduk keliling kampung. Mulanya, Ibu
dan keluarga lain selalu panik mencariku. Tapi setelah tahu, dimanapun dan
kapanpun, bila ada beduk atau kendang ditabuh, Ibu sudah tidak lagi mencariku.
Meskipun aku tak pulang semalaman.
Entahlah,
aku tak suka dengan yang lainnya. Aku hanya suka gendang saja. Bahkan pada
semua pelajaran, aku malas. Kepalaku suka pening jika melihat huruf dan angka.
Bahkan meski sudah puluhan kali aku menulis dan menghitung, aku tak pernah bisa
mengingat dengan baik semua hurup atau angka yang diajarkan.
Tapi
aku ingat pada Mak Kolot yang sudah meninggal. Ia yang sering telaten
mengajarkanku mengeja dan menghitung. Ia yang tak pernah marah, yang sabar mengulang
kembali huruf dan angka untuk aku lafalkan, meski esok harinya semua itu hilang
dari ingatanku. Percis seperti gambar yang aku guratkan di atas tanah di
halaman rumahku, yang keesokan harinya hilang tak ada bekas setelah hujan besar
turun.
Mak
Kolot itu, juga seperti Guruku. Bu Ike, yang lembut dan cantik meski usianya sudah setengah baya. Bu Ike yang tak
pernah marah di sepanjang ia mengajar murid-muridnya, termasuk aku. Bu Ike yang
selalu telaten mengajarkanku menulis meski aku sering badmood. Aku tak suka
belajar. Aku pusing bila melihat huruf dan angka terlalu lama. Mak Kolot dan Bu
Ike tahu itu.
“Tak
apa-apalah, tenang saja Jang. Belajar saja pelan-pelan. Jika orang lain hanya
membutuhkan waktu satu atau dua tahun untuk bisa membaca, buatmu kau belajar
sepanjang hiduppun tak mengapa. Ahh, jangan terlalu tinggi juga menggantungkan
cita-cita. Semua lowongan kerja dan jabatanpun sudah terisi. Kau lihat,
Presiden sudah ada, Mentri sudah ada, Dokter? Guru? Bahkan Pengemispun sudah
banyak pula. Kau tenang saja...” Begitu selalu ucapan Mak Kolot sambil
menggerundel dan tertawa-tawa keciil.
Mak
kolot juga bukan orang yang pintar. Tapi dia kaya. Dia yang memanjakanku. Dia
selalu membelikanku baju, makanan dan uang jajan. Pekerjaan Mak Kolot hanya dagang hasil
kebunnya. Tapi apa saja yang dibawanya, pasti selalu jadi uang. Bahkan daun
singkong, daun pepaya sampai rumput-rumput yang merambat di kebunnya, selalu
jadi uang jika sudah di tangan Mak Kolot.
Aku
memang susah mengingat sesuatu. Gampang lupa meski moment itu baru sesaat
berlalu. Seperti ketika Bu Ike mengumumkan akan
ada tamu penting ke sekolah dan aku diharuskan memakai seragam marching
band. Aku lupa pengumuman itu sesaat setelah keluar kelas. Paginya aku
menangis, karena posisi penabuh drumb yang sudah dilatihkan setiap harinya, di
ambil poisisinya oleh kawanku.
Terkadang
aku menangis spontan saja. Tapi tak ada hubungannya dengan hal otakku yang
susah ingat dan gampang lupa itu. Bukan aku masabodoh, tapi mau apalagi, takdir
hidupku sudah seperti itu aku bisa apa?
Aku
ingat kata-kata Mak Olot yang sering diucapkannya berulang-ulang. Seperti aku
juga ingat, jalan-jalan yang kulalui setiap hari saat pulang dan pergi ke sekolah. Letak rumah sakit tempat si Anwar
berhenti. Pertigaan yang ada Toko modernnya, itu Akmal yang turun di sana.
Lagipun, setiap awal bulan, Ibu juga sering mengajakku ke Toko modern itu. Aku ingat
rupa temnan-temanku meski tak semua namanya aku hafal. Terlalu penuh di
kepalaku. Yang kuingat hanya Farid, teman sebangkuku. Dia tampan, putih, tapi
saban hari selalu menangis. Farid susah berbicara.
Ingatanku
sudah mulai banyak. Patutlah karena sudah tahun ke delapan ini aku sekolah di
sekolah yang sama. Teman-temanku sudah keluar SMA dan mulai berkuliah. Mereka
punya cita-cita yang beragam. Dan aku, masih di sini saja. Di sekolah yang
sama.
Aku
tak ingin jadi apa apa. Semua sudah ada kok. Seperti kata Mak Kolot. Aku hanya
ingin bahagia dan melihat Ibu juga bahagia. Aku kasihan jika melihat Ibu
menangis ketika aku diolok-olok atau dikatai orang. Padahal, aku sendiri tidak
pernah ambil pusing. Aku tertawa saja jika orang-orang atau teman-teman
mengataiku. Ahh, aku toh baik-baik saja. Aku sehat, tenagaku kuat, aku juga
pandai menabuh gendang.
Buktinya,
aku selalu dipanggil untuk menjadi penabuh gendang dalam setiap acara. Bahkan
ada beberapa grup hiburan seperti organ pongdut, Kesenian jaipongan yang
memakaiku jika ada panggilan manggung.
Aku
suka menabuh gendang, atau apapun itu yang berhubungan dengan tetabuhan. Aku
kesayangan ustadh dan grup qasidah di kampungku, karena kepiawaianku menabuh
gendang dan genjring.
Aku
tak punya cita-cita besar. Karena aku takut ketinggian untuk menggantungkannya
di angkasa. Mengjangkaunya terlalu jauh dan lama. Harus pintar dulu. Harus jadi
sarjana dulu. Menghafal sekian diktat dan buku-buku. Berkutat dengan makalah
dengan segala teori praktiknya. Sedangkan bagiku. duit duaribupun, perlu
bertahun-tahun menghafalnya, hingga aku ingat betul bentuk uang itu dan
kegunaannya jika dibelanjakan.
“Untukmu
Nak, tak perlu menggantungkan cita-cita tinggi. Tapi daratkan sedini mungkin.
Kau bisa main gendang, rajinlah belajar menabuh. Jika kau yakin, jadi penabuh
gendangpun, kau akan meraih kebahagiaan hidup!” Lagi-lagi, hanya kata itu yang
kuingat dari Bu Ike, satu-satunya guruku di SLB yang masih kuingat sampai kini.
Hingga aku menjadi penabuh gendang dan dikenal banyak orang.
Aku
bahagia jadi penabuh gendang. Aku tak peduli bahkan sampai setua ini, aku sama
sekali tak bisa membaca dan tak tahu huruf dan angka. Bahkan tak ingat cara
merangkainya menjadi sebuah kalimat atau bilangan.
***
Subang,
penghujung taun.
Buat
Hilman, anak istimnewaku.
Komentar
Posting Komentar