Dia Anakku
Ratna Ning “DIA anakku!” suara Sumi pelan bergetar. Ia duduk di bale-bale. Tunduk. Pundaknya berguncang. Sesenggukan. Dua kakinya berongkang-ongkang. Gelisah tak karuan. Terlebih mak terus-terusan mencecarkan tanya padanya. Itulah. Sumi tak kuasa mendongakkan wajah. Ia jengah beradu pandang dengan tatap tajam berlinang milik mak. “DARI tadi kau kutanya, bahkan dari kemarin, kau hanya bilang dia anakku. Anakmu dengan siapa, Sumi? Lelaki mana?” mak hampir berteriak geram. Wajahnya semakin gusar. Sedang bapak, duduk kelu di belakangnya. Di kursi rotan tua, menyandar ke tembok dengan selinting bakau pahpir yang tak jua disulutnya. Sumi tak menjawab lagi. Perempuan dua puluh lima tahun –yang oleh sebagian warga kampung dijuluki perawan lapuk– itu tetap diam dalam tunduknya. Final! Ia tak akan dan tak mau lagi menjawab lebih jauh. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan mengunci rapat-rapat mulutnya tentang hal misteri itu. Bukan pada lela...